Oleh Gelar Riksa Abdillah
Sewaktu saya SD, sempat heboh beredar sebuah Video dalam format VCD. Isinya adalah tentang Gus Dur yang mengikuti ritual di Pantai Selatan untuk memberikan sesajen atau persembahan pada Nyi Roro Kidul. VCD yang dijual dengan harga 3,500 rupiah itu menjadi perbincangan yang cukup seru di lingkungan sekitar.
Para tetangga membicarakan hal tersebut, saya dan teman-teman di sekolah juga mengomentarinya. Sampai-sampai saya berpikir, mengapa Gus Dur yang presiden Indonesia dan tokoh Islam melakukan kemusyrikan semacam itu.
Itu tentunya jauh sebelum saya cukup dewasa untuk membaca tulisan-tulisan Gus Dur, dan mempelajari kata musyrik itu sendiri. Ketika saya kuliah dan mengambil jurusan Ilmu Pendidikan Agama Islam, saya mulai akrab dengan pemikir-pemikir Muslim Indonesia dan dunia.
Saat itu juga saya mulai mengenal konsep pluralisme ala Gus Dur dan segala kontroversi yang menyertainya. Meminjam istilah Zen RS, Gus Dur adalah sosok yang selalu berada di tapal batas, Gus Dur seolah tidak memedulikan awamnya pikiran orang-orang, dan menerabas garis-garis yang menurut orang lain adalah kawasan terlarang. Seperti mencabut Tap MPRS tentang Komunisme, memberikan hak untuk merayakan Imlek bagi orang Tionghoa, mengakui Kong Hu Cu sebagai sebuah agama, dan masih banyak lainnya. Bagi saya, semua yang dilakukan Gus Dur seolah menjadi upaya untuk membangun kesadaran tentang betapa tidak masalahnya hidup berdampingan.
Stigma-stigma yang melekat terhadap suatu kelompok atau golongan, terutama minoritas adalah ilusi yang memerangkap pikiran orang-orang. Perangkap itu yang kemudian menciptakan batasan tak kasat mata antar-orang dalam bermasyarakat.
Saya mencoba menerapkan semangat Gus Dur itu dalam berkegiatan dan bekerja selepas lulus kuliah. Saya bergaul dengan banyak orang tanpa memandang agama, suku, ras, dan ideologinya. Semua interaksi sosial saya dengan mereka yang berbeda itu tidak mempengaruhi keyakinan atau ideologi yang sebelumnya saya miliki juga.
Dalam hidup berdampingan, ternyata ada banyak hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Bagi mereka yang menganggap bahwa bergaul dengan orang yang beda agama bisa mempengaruhi aqidah dan melemahkan iman, kemungkinannya ada dua; pertama, imannya memang lemah. Kedua, dia memang tidak pernah bergaul dengan orang yang berbeda dengannya seumur hidupnya.
Itu terbukti ketika saya bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah internasional. Sekolah tersebut pada waktu itu tidak terikat aturan dinas pendidikan Indonesia dan memiliki kurikulum tersendiri. Pendidikannya sangat sekuler, begitu juga dengan guru-gurunya. Kebanyakan dari mereka adalah ateis atau tidak tertarik sama sekali tentang agama.
Ketika kami berinteraksi, segala halnya berlangsung profesional. Tidak sekalipun mereka mempertanyakan kenapa saya beragama dan menjalankan shalat atau ibadah lainnya. Bahkan, sekolah tersebut juga menyediakan mushala bagi kami yang Muslim.
Saya tidak tahu apa anggapan dan pikiran mereka tentang kami yang beragama, tetapi itu menjadi tidak begitu penting selama kami saling menghormati dalam segala perbuatan dan interaksi sosial kami. Sekali lagi, hidup berdampingan ternyata tidak serumit itu.
Pendapat mengenai pergaulan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan bisa mengubah keyakinan kita pribadi menurut saya sangat tidak berdasar. Keyakinan pada dasarnya adalah sesuatu yang sifatnya sangat personal, bahkan jika seseorang tidak mengumumkan keyakinannya, tidak akan ada yang tahu mengenai keyakinan orang tersebut.
Selain itu, jikalau benar bahwa orang yang berbeda keyakinan dengan kita menawari kita untuk masuk ke dalam keyakinannya, kita bisa menolak dengan tegas. Karena berkeyakinan adalah hak pribadi, pemaksaan untuk mengikuti atau meninggalkan sebuah keyakinan sudah jelas melanggar hak asasi manusia.
Bertukar Perspektif
Pada kesempatan yang lain, atas izin Allah saya sempat tinggal di Eropa untuk satu tahun saja. Saat itulah saya benar-benar memahami bagaimana rasanya menjadi minoritas. Menjadi sebagian yang kecil dari yang banyak.
Pada saat itu, sekitar tahun 2016-2017, terjadi beberapa peristiwa teror di London. Seperti penusukan, penembakan, dan bom. Pelakunya adalah Muslim garis keras. Akibatnya, stigma negatif dari masyarakat setempat tidak terhindarkan. Sehingga kaum Muslim yang lain menjadi pesakitan. Terjadi persekusi dan bahkan kekerasan secara verbal maupun non-verbal dari orang-orang di sana.
Saya yang seorang laki-laki tidak terlalu terlihat identitas keislamannya. Tetapi bagi kawan-kawan Muslimah yang mengenakan jilbab, mereka sering menjadi sasaran kemarahan warga sekitar. Salah seorang kenalan saya yang juga orang Indonesia, diludahi kakinya ketika sedang berjalan-jalan di taman oleh warga lokal.
Peristiwa semacam ini menjadi sangat tidak mengenakan bagi kami yang double minoritas, yaitu seorang Asia dan Muslim. Meski tidak semua orang memperlakukan buruk, tetapi kekhawatiran kami sama sekali tidak terhindarkan.
Pada momen itu, saya merasa betapa tidak mudahnya menjadi minoritas. Ketika Muslim menjadi sasaran kemarahan, saya justru bisa berempati terhadap minoritas di Indonesia tentang pentingnya untuk berdamai dan bersikap tasamuh di dalam bermasyarakat.
Saya tentu saja ingin mengatakan bahwa kami tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku teror, namun tentu saja hal semacam itu percuma. Untungnya, banyak juga orang-orang yang bisa mengerti perasaan kami.
Karena itu, ketika kawan-kawan Eropa saya bersikap ramah dan tidak mempermasalahkan hal tersebut, saya merasa tetap diterima dan menjadi bagian dari komunitas. Mereka tahu kami sudah memiliki kesulitan mendasar seperti mencari makanan halal dan menemukan tempat shalat, tidak perlu lagi ditambahi dengan kejadian seperti ini.
Pada saat itu juga saya berpikir betapa wajah Islam yang ramah perlu ditampilkan oleh siapa saja yang memang beragama Islam. Perilaku teror, di mana pun, dan dilakukan oleh siapa pun tetaplah sebuah teror. Keamanan seseorang telah terenggut, dan hal itu memicu teror yang lain.
Ketika saya menganggap betapa mudahnya hidup berdampingan dengan siapa saja yang berbeda golongan, tetap saja ada beberapa orang yang gagap dalam mempraktikkannya.
Pekerjaan rumah seperti ini seolah tidak ada ujungnya bahkan sampai Gus Dur menemui akhir hidupnya. Namun, saya percaya semangat perdamaian itu telah diwarisi oleh banyak orang untuk mulai mengesampingkan perbedaan. Karena bagaimanapun perbedaannya tidak akan menghilang, hanya saja kita tinggal berhenti untuk mempermasalahkannya.
Ketika saya tinggal di Eropa juga, ada sebuah ruangan di kampus yang menjadi tempat ibadah bagi semua agama. Jadi ketika kita shalat di salah satu sudut ruangan, akan ada seorang Yahudi yang sedang berdoa dengan bahasa Ibrani tidak jauh dari kita, atau seorang Katolik yang berdoa di depan salib.
Pada saat itulah saya memahami Video Gus Dur yang saya tonton ketika SD. Meskipun kami berada di tempat yang sama dengan orang yang berbeda keyakinan. Keyakinan kami masing-masing tidak akan saling terpengaruh, karena hal itu berada di tempat yang sunyi, yang hanya bisa dijangkau oleh diri dan Tuhan. Sementara manusia di samping kita adalah mereka yang hanya bisa dihadapi dengan akhlak yang mulia agar kehidupan bisa berlangsung dengan damai dan membahagiakan.
Gelar Riksa Abdillah, tinggal di Bandung. Aktif mengelola komunitas pendidikan Negeri Senyum dan mendirikan sekolah literasi digital Totolab. Tertarik pada isu-isu pendidikan, social development, dan literasi.
Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema “Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah”, hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.