suaragus.com, SEMARANG – Bahaya berita bohong atau hoaks, menjadi ancaman bagi semua lini kehidupan. Tak terkecuali, para santri pesantren yang notabene berada di lingkungan yang tertutup.
Karena itu, Wakil Katib PWNU Jateng, KH Nasrulloh Afandi menggadang adanya program pelatihan jurnalistik di berbagai institusi pendidikan, khususnya pondok pesantren.
Menurutnya, dengan semakin menggilanya berita hoaks, ujaran kebencian, pencitraan dengan beragam kepentingannya yang di kemas dengan beragam cara yang meyakinkan publik, seolah-olah adalah kebenaran yang disebarkan lewat beragam media sosial.
“Maka, sebagai upaya melindungi generasi bangsa pada umumnya dan generasi santri pesantren khususnya, maka perlu optimalisasi program pelatihan jurnalistik di berbagai institusi pendidikan, termasuk pesantren,” kata Gus Nasrul, sapaan KH Nasrulloh Afandi, Rabu (17/3/2021).
Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat itu mengungkapkan, selain memberikan pengalaman secara langsung, pelatihan jurnalistik juga akan memberikan bekal kepada para santriwan dan santriwati terkait dasar ilmu jurnalistik.
“Dengan mengerti ilmu jurnalistik, setidaknya generasi bangsa bisa memilah atau menyaring antara kebenaran berita dan wabah bangsa berupa hoaks atau berita bohong,” jelasnya.
Dikatakannya, lingkungan pesantren konvensional sangat rawan terhadap berita hoaks. Pasalnya, pesantren konvensional masih menerapkan lingkungan yang tertutup dan melarang para santri menggunakan handphone. Sehingga jika ada berita yang diterima, maka santri akan menganggap berita tersebut sebagai sebuah kebenaran tanpa ada proses klarifikasi atau mencari referensi lainnya.
Kondisi berbeda pada pesantren modern. Yang mana lingkungan relatif terbuka dan setiap santri dapat menggunakan perangkat teknologi sehingga dapat mengakses media sosial atau portal berita dalam waktu yang lama. Sehingga santri pesantren modern dapat melakukan penyaringan berita untuk memastikan kebenarannya.
“Pesantren dengan lingkungan tertutup, santrinya tidak bisa memilah berita atau konten media sosial yang hoaks. Sehingga berita yang diterima itu ditelan mentah-mentah sebagai suatu kebenaran. Itu karena mereka tidak bisa membuka medsos dalam waktu yang lama sehingga tidak bisa mencari referensi lain,” paparnya.
Gus Nasrul mengungkapkan, bahaya berita hoaks di kalangan santri. Bahwa jika hoaks tersebut terekam dalam memori para santri atau pelajar, nanti justru diyakini menjadi sebuah kebenaran. Dalam tingkat dasar, dikhawatirkan hal itu diyakini bagian dari sejarah.
“Kalau berkaitan dengan ideologi apalagi radikalisme, dikhawatirkan para pelajar atau santri terpolusi cara bertindaknya karena berawal dari hoaks itu. Sehingga pelatihan jurnalistik ini sangat penting, karena pesantren modern sekalipun masih minim pemahaman jurnalistiknya,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi dampak hoaks di lingkungan pesantren, kata Gus Nasrul, maka pesantren harus mengakses media berbasis cetak atau koran. Secara estafet melakukan edukasi pada para santri terkait ilmu jurnalistik. Dengan begitu, para santri memiliki kompetensi untuk memilah dan menyaring mana berita hoaks dan bukan.
“Juga perlunya wawasan kebangsaan bagi para pelajar dan santri. Sehingga setiap konten yang bernuansa sara atau politis, bisa disaring. Sehingga terhindar dari berita hoaks,” pungkasnya. (*)
sumber : TRIBUNJATENG.COM