Ramadhan bulan berkah. Tetapi keberkahan tidak datang begitu saja tanpa diikhtiarkan. Keberkahan perlu diraih secara konsisten dengan niat yang tulus.
Keberkahan Ramadhan bisa direngkuh dengan banyak hal. Di antaranya, tentu, dengan mendaras Al-Qur’an. Tadarus bukan cuma bermakna membaca, namun juga dengan menyelami makna-makna agung yang terkandung di dalamnya.
Keberkahan Ramadhan juga wajib diraih dengan memperbanyak ibadah. Doa, zikir, shalat sunah, beramal saleh, sedekah, dan banyak lagi, termasuk memperbanyak mengikuti kajian agama melalui pengajian-pengajian yang digelar.
Dalam tradisi pesantren, banyak pengajian yang secara khusus digelar dalam rangka menghormati bulan suci. Tradisi yang sudah digelar secara turun temurun ini kerap disebut ngaji pasaran, bandongan, atau posonan.
Ada tradisi menarik yang perlu diambil pelajaran dalam tradisi ngaji pasaran. Yakni, penghormatan kiai, nyai, ustadz, atau siapa pun pembaca kitab kuning terhadap pengarangnya. Hal ini, bisa menjadi pembeda atas sikap masyarakat modern yang cenderung biasa-biasa saja dalam memandang seorang penulis melalui karya-karya yang tengah dikajinya.
Bagi masyarakat pesantren, pola menghargai penulis kitab kuning ini sering disebut dengan istilah tabarukkan. Mereka percaya betul, pengarang kitab kuning tidak sekadar punya kepintaran dalam merangkai kalimat, akurasi riset, maupun analisa dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Melampaui itu, para mushanif (pengarang) memenuhi proses dari praproduksi hingga pascaproduksi karyanya dengan nilai-nilai spiritualitas yang tinggi.
Nyaris setiap biogragfi pengarang kitab kuning menceritakan kehati-hatian para ulama dalam merumuskan karya-karyanya. Mereka, biasanya, mengawalinya dengan riyadhah, tirakat, dan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) yang memang jarang ditemukan dalam rutinitas penulis-penulis modern.
Sebut saja hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Ketika menulis Kitab Al-Munqidz min Ad-Dhalal, ulama yang masyhur disapa Imam Ghazali ini mengawali tekadnya dengan berkhalwat, menepi dari segala hal yang bersifat duniawi.
Begitu pun ketika ulama Persia ini mengarang Kitab Ihya Ulumiddin. Proses dan langkah yang ditempuh tak pernah sembarang. Kegiatannya menulis, sangat tampak semata-mata demi pengabdiannya kepada Allah SWT.
Iktibar lainnya bisa dipelajari dari kisah Syekh As-Shanhaji dalam mengarang Kitab Al-Ajurumiyah. Konon, setiap kali hendak menulis, ulama kharismatik ini melulu mengawalinya dengan mendatangi Masjidil Haram, berwudhu, mendirikan shalat, dan bertawaf. Maka, amat wajar, jika karya yang dilahirkannya tidak hanya bernilai bermanfaat dan mencerdaskan, tetapi juga bertahan dan selalu dibutuhkan generasi di setiap zaman.
Begitulah cara salafus saleh dalam menerbitkan karya-karyanya. Bukan cuma melalui bentuk jadi kitab kuning yang bisa dibaca sehari-hari, akan tetapi tradisi dan kebiasaan yang dilaluinya bisa dipelajari dan diteladani.
Generasi hari ini, tentu tak salah dan perlu juga menyiapkan diri untuk selalu beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Yang penting adalah tekad menemukan terobosan-terobosan baru itu tak lantas dengan gampang menafikan tradisi-tradisi baik dan agung yang telah diwariskan. Tujuannya, agar setiap langkah tetap dikaruniai keberkahan dan keridhaan dari Allah SWT. Wallahu a’lam.
Ny Hj Thoatillah Ja’far, Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Putri Kempek Cirebon