Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah partai politik yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Memang, kelahirannya tak bisa dilepaskan dari masyarakat Nahdliyin.
Melansir laman resmi pkb.id, ini bermula ketika 21 Mei 1998 Presiden Soeharto lengser akibat desakan massa. Peristiwa ini menandai lahirnya era reformasi.
Sehari setelah peristiwa tersebut, NU di berbagai pelosok tanah air mengusulkan supaya PBNU membentuk partai politik.
Kala itu, beragam nama partai bahkan telah diusulkan. Bahkan, muncul pula usulan lambang, visi misi, hingga nama-nama pengurus parpol.
PBNU sendiri sangat berhati-hati dalam menanggapi usulan tersebut.
Sebab, seperti Kongres Rakyat Nasional ke-27 yang diadakan di Situ Bando pada tahun 1984, ditegaskan bahwa dari segi organisasi, Kongres Rakyat Nasional tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik yang sebenarnya. Namun, sikap yang ditunjukkan PBNU jelas tidak memuaskan keinginan warga NU.
Banyak yang tidak sabar untuk segera mengumumkan pembentukan partai politik untuk memenuhi aspirasi politik warga Nahdliyin setempat.
Beberapa telah menyatakan identitasnya, seperti Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Rakyat (Perkanu) di Cirebon.
Terakhir, pada 3 Juni 1998, PBNU menggelar rapat harian syuriyah dan tanfidziyah. Forum memutuskan membentuk kelompok beranggotakan lima orang untuk memenuhi keinginan warga NU.
Tim Lima diketuai oleh Ma’ruf Amin yang kala itu menjabat sebagai Rais Suriyah atau Kordinator Harian PBNU.
Tim Lima diketuai oleh Ma’ruf Amin yang saat itu menjabat sebagai koordinator harian Rais Suriyah atau PBNU.
Anggotanya adalah M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Said Aqil Siradj (Wakil Katib Aam PBNU), Rozy Munir (Ketua PBNU) dan Ahmad Bagdja (Sekjen PBNU).
Selain itu, dibentuk pula kelompok bantuan yang diketuai Arifin Djunaedi yang saat itu menjabat sebagai Wakil Sekjen PBNU. Tim tersebut terdiri dari Muhyiddin Arubusman, Fachri Thaha Ma’ruf, Abdul Aziz, Andi Muarli Sunrawa, Nasihin Hasan, Lukman Saifuddin, Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar.