Jakarta – Satu bulan terakhir, mulai bermunculan di linimasa Facebook dan Twitter dimana warganet berbagi link acara diskusi dan kumpul-kumpul secara online di media sosial baru bernama Clubhouse. Medsos baru ini terbilang unik karena hanya menggunakan suara. Tidak menggunakan video seperti Zoom, foto cantik seperti Instagram, ataupun Twitter dan Facebook yang berbasis posting-an gambar dan video dengan menyertakan narasi dari pemilik akun.
Pengguna Clubhouse hanya mengandalkan suara dimana mereka bisa berbagi forum diskusi. Baik yang bertema serius ataupun sekadar berkeluh kesah kegiatan mereka sehari-hari. Yang lebih menarik lagi, tidak mudah untuk masuk dan mendaftar ke medsos satu ini. Selain memang sementara ini hanya tersedia bagi pengguna perangkat IOS (Iphone Operating System), siapapun yang memasang aplikasi Clubhouse harus menunggu undangan terlebih dahulu dari pengguna yang sudah terdaftar. Ini membuat Clubhouse terasa eksklusi; hanya sedikit orang yang bisa bergabung.
Lebih dari itu, nuansa informal dan egaliter cukup terasa di Clubhouse. Paling tidak jika dibandingkan dengan medsos obrolan daring sejenis seperti Zoom ataupun Google Meet. Jika kita ibaratkan pengguna Clubhouse sebagai orang di dunia nyata, mereka adalah yang datang ke kafe atau warung kopi hanya untuk sekadar ngobrol ke sana ke mari atau bahkan diskusi serius terkait satu topik. Dalam suasana serius, seseorang bisa menjadi penengah atau moderator yang mengatur lalu lintas diskusi. Sebaliknya, nuansa santai dan tidak resmi bisa dipilih dimana semua pengguna bisa menjadi “pembicara” dan saling menyela satu sama lain tanpa ada penengah.
Di Jawa Timur, forum seperti ini biasa disebut sebagai cangkrukan. Tempat kluster perkawanan berkumpul berjam-jam membahas banyak topik yang menyenangkan mereka semua. Clubhouse sendiri dalam bahasa Inggris bisa disamakan dengan kata “cangkrukan”. Ini dikarenakan kata clubhouse dalam bahasa Inggris secara harfiah artinya tempat berkumpul atau kafe –ini memang kata benda (noun). Tapi dalam bahasa informal, clubhouse juga bisa disamakan dengan kata hang out.
Jika kita dialihbahakan ke dalam bahasa Jawa, maka cangkrukan adalah kata yang pas untuk mengartikan. Jadi tidak salah jika kita mengandaikan pengguna aplikasi Clubhouse di dunia nyata sebagai orang-orang yang datang dan cangkrukan di warung kopi secara bersama-sama
Dakwah ala Cangkrukan
Banyak sekali forum atau kluster topik di aplikasi Clubhouse. Dari semuanya, yang menarik untuk diamati adalah kegiatan dakwah di medsos ini. Sebagaimana kita tahu dalam satu dekade terakhir geliat dakwah daring maupun luring cukup aktif di negara kita ini. Mulai dari kelompok yang bisa dikategorikan konservatif, moderat, maupun “radikal” semuanya tumpah ruah berdakwah di dunia digital.
Sepintas terlihat, kelompok konservatif atau radikal menguasai jagat Islam digital di Indonesia. Tapi lambat laun banyak pendakwah dari pesantren seperti Gus Miftah atau Gus Baha mulai mendapat tempat di hati netizen. Bahkan dari survei terakhir melalui situs trafik Alexa, NU Online menempati peringkat tertinggi sebagai website Islam yang paling banyak dikunjungi.
Demikian pula Clubhouse, medsos gaya cangkrukan ini menjadi alternatif tersendiri dimana dakwah dilaksanakan dengan santai tapi esensi belajar ilmu keislaman tetap terjaga. Dialog dua arah sangat bisa dilakukan baik itu melalui tanya jawab dengan ustadz secara langsung maupun bimbingan mengaji Al-Quran yang bisa dilakukan tanpa hambatan jarak.
Beberapa forum dakwah bisa ditemukan di sini, seperti tanya-jawab agama yang dibimbing oleh aktivis NU di Australia Nadirsyah Hosen. Forum yang sama juga bisa ditemukan yang dikelola oleh founder Kawal Pemilu dan Kawal Covid Ainun Najib yang berada di Singapura bersama CEO Kaninga Pictures Willawati yang membuat forum harian tanya-jawab agama dan bimbingan membaca Al-Quran.
Selain itu, di spektrum yang lain kita juga bisa menemukan forum kajian agama di bawah bimbingan Ustaz salafi Oemar Mita, juga Rene Suhardono yang dikenal sebagai aktivis hijrah. Bisa dikatakan aplikasi Clubhouse akan menjadi ruang kontestasi baru dakwah Islam di Indonesia, antara kelompok konservatif dan moderat di Indonesia.
Tetapi tidak seperti dakwah di website ataupun medsos yang lain, dimana biasanya NU tertinggal, kali ini semua pendakwah dari berbagai spektrum kelompok Islam berangkat dengan posisi start yang sama. Dan, dengan budaya cangkrukan yang sudah biasa dan khas di kalangan NU, ada kemungkinan pendakwah dari organisasi Islam terbesar di Indonesia ini akan cukup mewarnai.
Apalagi ketika nanti Clubhouse sudah terseda di smartphone Android, akan tumpah ruah dan diisi oleh pendakwah dari kalangan pesantren.
Dakwah 3.0
Hew Wai Weng (2015), seorang peneliti dakwah Islam di Indonesia, mengatakan bahwa saat ini adalah era dakwah 2.0 dimana pendakwah mengkombinasikan daring dan luring untuk kegiatan dakwahnya. Tapi dengan semakin banyaknya medsos baru yang memberikan ruang yang sangat luas kepada aktivitas daring dengan berbagai macam kemudahannya, sepertinya akan ada pergeseran besar.
Dakwah Islam tidak lagi kombinasi daring dan luring, tetapi sepenuhnya daring. Apalagi di suasana pandemi saat ini, dimana orang dipaksa untuk lebih banyak tinggal di rumah yang efeknya kemungkinan besar akan tetap kita rasakan sampai satu dekade ke depan. Jadi cukup adil untuk mengatakan bahwa dakwah model cangkrukan ala Clubhouse adalah bentuk ejawantah era dakwah 3.0. Sebuah fenomena baru dimana dakwah Islam fokus sepenuhnya di dunia daring, tanpa bertatap muka layaknya program-program dakwah yang sering kita ikuti.
Lebih dari itu, di Clubhouse netizen akan merasakan suasana informal dan cair sehingga pengetahuan narasumber lebih tergali, dan para santri daring bisa mendapatkan ilmu agama secara lebih maksimal.
(mmu/mmu)