Jakarta – Kongres Luar Biasa (KLB) itu biasa. Meski namanya “Luar Biasa”, tapi jadi biasa karena sering terjadi. Hampir semua partai mengalami.
Era Presiden Soeharto, ada KLB PDI. Era Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada KLB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur vs Matori Abdul Jalil, dan Gus Dur vs Muhaimin Iskandar. Era Presiden Jokowi, ada KLB PPP. Belum lama ini ada KLB Partai Berkarya.
KLB adalah dinamika yang biasa terjadi di internal partai. Normal, wajar dan sering mewarnai dinamika politik di Indonesia.
KLB adalah anak kandung yang lahir ketika terjadi konflik di internal partai. Ketika pihak-pihak yang tidak diakomodir dalam kepengurusan partai merasa kuat dan banyak pendukung, maka akan ada KLB. KLB dianggap sebagai kudeta konstitusiional. Meski tafsir Konstitusinya tetap akan dimenangkan oleh pihak yang dekat dengan kekuasaan. Di sini, Menkumham sebagai penentu takdirnya.
Kalau pihak yang di luar kepengurusan partai tidak dalam posisi yang kuat, maka ada tiga pilihan. Pertama, membuat partai baru. Surya Paloh mendirikan Nasdem setelah kalah di Golkar. Amin Rais mendirikan Partai Umat setelah kalah di PAN. Anis Matta mendirikan Partai Gelora setelah tak lagi di PKS. Kedua, bergabung dengan partai lain. Dan ketiga, pensiun dini dari dunia politik.
Berbeda dengan KLB pada umumnya, KLB Partai Demokrat dianggap istimewa. Kenapa? Pertama, dilakukan oleh tokoh di luar partai. Tokoh tersebut bernama Moeldoko, mantan Panglima TNI era SBY. Meski ada keterlibatan pihak internal. Ini tak lazim dalam tradisi KLB selama ini.
Jika KLB dilakukan hanya oleh kader atau mantan kader Demokrat, mungkin masih banyak yang simpati. Mengingat, Demokrat sudah menjadi partai family. Adanya KLB akan dianggap sebagai upaya untuk merasionalisasi dan memodernisasi partai. Respon spublik akan positif. Tapi, ketika KLB justru memilih tokoh luar sebagai ketua umumnya, maka simpati berbalik. Bukan kepada pelaku KLB, tapi simpati justru berlimpah kepada SBY dan AHY. Ngono yo ngono ning ojo ngono, begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran publik.
Kedua, tokoh yang dijadikan ketua umum di KLB Demokrat tersebut adalah orang istana. Posisinya sebagai Kepala Staf Presiden (KSP).
Stigma publik seketika terbentuk bahwa ini adalah pengambilalihan paksa. Logika ini sedang tumbuh di benak rakyat. Sehingga muncul berbagai pertanyaan: ini arah dan tujuannya ke mana? Untuk Pilpres 2024?
Ada analisis bahwa di 2024, akan ada tiga gerbong. Pertama, gerbong Anies Baswedan. Sejumlah partai nampaknya sudah mulai melirik Anies. Kedua, gerbong Prabowo-Puan (Gerindra-PDIP). Ketiga, gerbong Jokowi. Meski gerbong ketiga ini agak berat mengingat Jokowi tak punya partai.
Hubungan Jokowi-Mega yang seringkali dalam suasana “kurang nyaman” membuat Jokowi harus bersikap realistis. Pasca 2024, Jokowi butuh “artikulasi” politik. Dan itu hanya akan efektif jika Jokowi berada di puncak pimpinan partai sebagaimana SBY dan Megawati.
Apakah “kudeta” Demokrat ada hubungannya dengan istana? Banyak spekulasi. Spekulasi ini akan berakhir dengan sendirinya ketika; pertama, Presiden memberhentikan Moeldoko dalam posisinya sebagai Kepala KSP. Kedua, Presiden membuat pernyataan bahwa istana tidak terlibat sama sekali dengan kudeta yang dilakukan Moeldoko. Ketiga, Kemenkumham tidak mengeluarkan SK legalitas kepengurusan hasil KLB.
Jika yang terjadi sebaliknya, spekulasi publik justru akan menguat dan seolah telah mendapatkan klarifikasinya. Dan ini akan menjadi sejarah baru yang dikhawatirkan bisa merusak masa depan demokrasi di Indonesia. Sejarah selalu berulang. Ini yang rakyat khawatirkan.
Tony Rosyid pengamat politik dan pemerhati bangsa
(mmu/mmu)