Pada 1934, Muhammad Asad atau Leopold Weiss, Yahudi Austria yang masuk Islam, menulis buku yang sangat fenomenal: Islam at the Crossroads (Islam di Persimpangan Jalan). Beliau yang jurnalis, memberikan pandangan kritis tentang bagaimana umat Islam merespons capaian peradaban Barat dan agar tidak begitu saja silau dengan pantulan sinar peradaban itu. Tulisan Asad sangat berpengaruh di kalangan dunia Arab, terutama setelah ia diterjemahkan dalam bahasa tersebut.
Pengaruh tulisan itu pun sampai ke ujung timur dunia, Indonesia, hingga Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya menyebut Muhammad Asad sebagai contoh kontemporer dari orang Yahudi yang kemudian beriman kepada Allah dan berjuang di jalan Allah (contoh zaman Nabi, Abdullah bin Salam). Sebagaimana tertuang dalam QS al-Ahqaf [46]: 10: “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, bagaimana pendapatmu jika sebenarnya (Al-Qur’an) ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al-Qur’an lalu dia beriman, kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim’.”
Dalam bukunya, Muhammad Asad, mengajak pada “reawakening” (kebangkitan kembali) dan “preserving” (pelestarian) nilai dan tradisi Islam dan tidak larut dalam duplikasi peradaban Barat. Asad menerangkan bahwa peradaban Barat memiliki akar rasisme yang menganggap rendah peradaban lain terutama Islam. Kebanggaan mereka terhadap Romawi mewariskan budaya materialisme dan dominasi atas yang lain:
“Its real deity is not of a spiritual kind: it is Comfort. And its real, living philosophy is expressed in a Will to Power for power’s sake. Both have been inherited from the old Roman civilization” (tuhannya [orang Barat] bukanlah dzat spiritual, tetapi kenikmatan. Dan falsafah hidupnya yang sebenarnya adalah tujuan dan ambisi kekuasaan. Keduanya adalah warisan kuno Romawi).
Sementara Islam tidaklah mendasarkan pada ambisi duniawi. Islam menekankan moralitas dalam segala hal. Segala sesuatu mengandung nilai moral yang harus dijaga dan tidak didasarkan pada materialisme seperti yang dianut oleh Barat.
Asad kemudian menawarkan “regenerasi” dalam diskursus Islam. Ketika Islam telah mengalami degenerasi karena tua dan lesu, maka perlu dilakukan penumbuhan kembali sel-sel yang telah mati. Untuk ini Asad mengajak umat Islam untuk percaya diri, berjalan dengan kepala tegak, bangga dengan identitas sendiri, dan menghilangkan sifat minder dalam pergaulan global dan tidak larut dalam budaya asing:
“In order to achieve the regeneration of the world of Islam, the Muslims must, before adopting any measures of reform, free themselves entirely from the spirit of apology for their religion and social structure. A Muslim must live with his head held high. He must realize that he is distinct and different from the rest of the world, and he must learn to be proud of his being different”.
Selanjutnya untuk regenerasi, Asad menawarkan untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadits dan tidak meniru ideologi Barat. Pandangan ini sejatinya telah banyak beredar di kalangan kaum revivalis Islam pada abad 18 dan 19 yang direproduksi oleh Asad dengan tambahan detail deskripsi peradaban Barat yang dia berasal dari sana. Seperti Shah Wali Allah (w. 1766, India), Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (w. 1792, Saudi Arabia), Muhammad bin ‘Ali al-Shawkani (d. 1834, Yaman), dan Muhammad bin ‘Ali al-Sanusi (d. 1859, Libya), Jamaluddin al-Afghani (w. 1897, Afghanistan) dan Muhammad Abduh (w. 1905, Mesir). Mereka secara umum menyeru untuk (1) kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah, (2) pemurnian agama, dan (3) ijtihad. Pandangan kaum revivalis yang menekankan pada penguatan jati diri umat Islam telah menunjukkan hasilnya dalam merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah. Ir Soekarno, presiden RI pertama, bahkan menyerukan keharusan bangga dengan budaya sendiri dan tidak kebarat-baratan, kearab-araban, dan keindia-indiaan.
Dalam masa revolusi, pandangan yang memperjelas demarkasi lawan dan kawan atau yang mempertegas identitas diri dan liyan (self and other) amatlah dibutuhkan demi soliditas perjuangan. Semangat perlawanan terbangun kuat karena kejelasan musuh yang dihadapi bersama. Hal ini meniscayakan penolakan terhadap keberadaan identitas musuh dalam diri sendiri. Meski demikian, hal ini bukan tanpa perbedaan pandangan tentang sejauh mana penolakan itu dilakukan. Apakah total atau sebagian. Identitas Barat apakah termasuk karya pemikiran Barat seperti Demokrasi, Negara Bangsa, Republikanisme dan Sekularisme, selain yang tampak dalam baju dan asesoris mereka. Dalam hal ini, kaum revivalis, ada yang sangat ekstrem menolak segala yang datang dari Barat dan ada yang justru mengadopsi modernisme Barat sebagai modal kebangkitan umat Islam.
Tulisan Asad hanya menunjukkan salah satu pandangan revivalis Islam di antara banyak pemikiran lain yang kadang berseberangan meski tujuan semua sama, yaitu bagaimana mewujudkan kebangkitan umat Islam. Di antara mereka yang paling anti budaya Barat adalah Muhammad bin Abdul Wahhab atau ulama yang dinisbatkan kepadanya faham Wahabisme. Seorang ulama Hijaz yang paling awal di era modern yang menyerukan pada pemurnian Islam. Jangankan budaya Barat, budaya lokal yang dianggap tidak ada pada era Rasulullah Muhammad pun ditolaknya. Kaum sufi yang dianggap banyak mengembangkan teori tasawuf Islam dan kaum Syiah yang dianggap terlalu mengagung-agungkan keluarga Rasul dalam ajaran mereka, kedua kelompok itu menjadi target pemurnian wahabisme. Sementara itu di sana terdapat kaum revivalis yang lebih menekankan modernisme ala Barat. Dalam pemikiran keislaman mereka menekankan rasionalisme dan pendekatan sains dalam menafsirkan Al-Qur’an, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (1865-1935). Kaum Revivalis modern dalam berpenampilan ada yang mempertahankan jubah seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dan ada yang bercelana, jas dan dasi ala Eropa, seperti Hassan al-Banna (1906-1949) dan Sayyid Qutb (1906-1966).
Pandangan revivalis Asad berpengaruh dalam penguatan identitas Islam yang dibutuhkan pada zamannya. Pandangan ini tentu menyimpan banyak varian di dalamnya. Sesama pengusung ide tersebut, ada yang mengambil corak konservatif seperti Saudi Arabia dan ada yang modern seperti Mesir. Di dalam masing-masing varian pun terdapat beberapa sub-varian yang menjadikan “revivologi” (kajian seputar revivalisme) memiliki spektrum yang luas.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya