Jakarta – Kehadiran Gus Miftah dalam peresmian Gereja Bethel Indonesia (GBI) Amanat Agung di Penjaringan, Jakarta Utara, masih menuai pro dan kontra. Ada yang memuji, ada juga yang menuding dirinya kafir.
Berbagai pendapat soal hukum orang Islam masuk gereja dijelaskan oleh para ulama. Sebelumnya ada Ustaz Abdul Somad dan Ustaz Adi Hidayat yang memberi pandangan soal hukum muslim masuk tempat beribadah agama lain.
Kali ini mengutip pendapat Buya Yahya soal hukumnya orang Islam masuk ke tempat ibadah agama lain. Pada pertanyaan yang dilontarkan kepada Buya Yahya, ada dua pendapat beda, yakni haram dan makruh.
“Kita mendengar katanya ada perbedaan ulama yang mengatakan haram dan makruh. Kita harus tahu hukum dulu, ulama yang mengatakan haram, dia melihat apa sih? Yang mengatakan boleh, melihat apa sih? Jangan yang dilihat beda, hukumnya beda Anda samakan, namanya mengadu domba,” buka Buya Yahya dilansir dalam channel YouTube pribadinya dalam judul ‘Hukum Muslim Masuk ke Gereja dan Tempat Ibadah Lain | Buya Yahya Menjawab’.
Menurut sang ulama, semua harus tahu asal-muasal dua jawaban berbeda itu. Buya Yahya pertama membahas soal ketika orang Islam hanya masuk ke dalam tempat ibadah agama lain.
“Sekarang kita bicara hukum masuk gereja. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, masuk saja tanpa ada embel-embel dengan yang lainnya, masuk saja tok. Maka ulama mengatakan di dalam mazhab Imam Malik, Imam Hambali, masuk tempat ibadah tanpa tujuan apa-apa, maka hukum masuk gereja atau (tempat ibadah) yang lainnya dikatakan bahwasanya boleh,” jelasnya.
“Kemudian mazhab Imam Syafi’i masuk gereja hukumnya haram jika di dalamnya ada sesembahan-sesembahan orang selain Islam, (seperti) patung dan lainnya. Itu tempat biasa untuk menentang Allah. Ini terlepas dari jika ada orang masuk karena ada sesuatu,” sambung Buya Yahya.
Buya Yahya memberikan contoh, bisa saja masuk ke dalam gereja karena di dalam ada yang teriak minta tolong atau menjadi tempat berlindung dari bahaya. Semua harus dijelaskan dan tidak bisa dicampuradukkan.
Haram masuk gereja, tegas dikatakan Buya Yahya, jika si pemilik gereja tidak mengizinkan, berniat untuk mengganggu, dan berbarengan dengan syiar atau ibadah umat tersebut.
“Yang jadi haram masuk gereja adalah jika yang punya gereja tidak mengizinkan, (itu) merusak persatuan. Umat Islam itu indah, menjaga. Kedua, Anda orang Islam masuk gereja ingin merendahkan dan menghinakan gereja, (itu) haram, ndak boleh Anda menyakiti. Atau Anda masuk ke tempat tersebut berbarengan dengan syiar dan ibadah mereka, apalagi Anda memberikan bunga-bunga. Apa perlumu?” tuturnya.
“Kalau ada orang masuk gereja untuk merendahkan gereja, mengotori gereja, atau mengganggu gereja, itu tidak boleh. Atau Anda menghadiri gereja untuk memberikan penghormatan mereka atau acara khusus mereka, itu haram,” sambung Buya Yahya.
Buya Yahya mengingatkan tentang orang Islam yang indah dan bisa menjaga persatuan dan toleransi.
“Akan ada penyejuk, ‘Hai kaum Nasrani, ternyata Islam itu indah, menjaga gereja resmi Anda, tanpa harus saya masuk ke gereja Anda. Anda pun tidak harus masuk ke masjid kami. Saya pun tanpa harus mengikuti kegiatan Anda, tanpa harus Anda mengikuti kegiatan kami’,” ungkap Buya Yahya.
“Kita harus hidup berdampingan yang indah,” tukasnya.
Sudut pandang haram atau tidaknya masuk gereja, menurut Buya Yahya, harus dilihat dari apa tujuan orang tersebut masuk ke tempat ibadah agama lain tersebut.
Mengenai pro-kontra yang timbul karena memberikan sambutan di GBI Amanat Agung, Gus Miftah juga sudah memberikan klarifikasi. Dalam klasifikasi tersebut, Gus Miftah menekankan kehadirannya di GBI Amanat Agung dalam rangka peresmian, bukan dalam peribadatan.
“Dicatat, dalam rangka peresmian, bukan dalam rangka peribadatan,” tegas Gus Miftah.
Dirinya pun tidak memberikan ceramah, melainkan hanya membacakan untaian nasihat tentang persatuan.
“Di saat aku menggenggam tasbihku, dan kamu menggenggam salibmu. Di saat aku beribadah ke Istiqlal, namun kamu ke Katedral. Di saat aku mengeja Al-Qur’an, dan kamu mengeja Alkitabmu. Kita berbeda saat memanggil Tuhan. Aku, kamu, kita. Bukan Istiqlal dan Katedral yang ditakdirkan berdiri berhadapan, namun harmonis,” begitu kutipan ceramah Gus Miftah kala itu.
sumber : detikcom